Ayah Menjadi Teladan Bagiku
Kisah ini ditulis oleh seorang pemirsa Lampu Islam di YouTube yang kehilangan ayahnya pada tahun 2014 lalu. Sebuah kisah nyata tentang cinta seorang ayah kepada anak-anaknya, dan ketaatannya kepada Allah s.w.t. Semoga kita bisa mendapat manfaat dari kisah ini. Berikut kisahnya:
Assalamu’alaikum salam ukhuwah,
Dengan berucap bismillahsaya memulai kisah ini. Kisah ini adalah kisah nyata yang terjadi pada tahun 2014 yang lalu, dimana saya kehilangan sosok ayah saya, sosok yang menjadi panutan dalam hidup saya. Kini beliau telah meninggalkan dunia ini menuju Sang Khalik. Beliau telah meninggalkan saya, kedua abang kandung saya, kakak kandung saya, ibu saya, dan sanak famili. Semoga kisah ini dapat menjadi motivasi bagi kita semua untuk senantiasa berusaha menjadi hamba yang bertaqwa kepada-Nya.
Keluarga saya adalah keluarga yang sederhana. Ibu sebagai ibu rumah tangga sekaligus seorang ustadzah pengajar TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan ayah seorang petani kebun yang sehari-harinya mengurusi kebun kecilnya. Selain itu, setiap harinya, beliau selalu menyempatkan waktu untuk menghadiri majelis pengajian dengan mengendarai sepeda tuanya. Sebenarnya, jarak dari rumah ke tempat pengajian lumayan jauh. Sesekali sepeda tua tersebut hancur karenanya. Bahkan siang dan malam beliau sibukkan dengan mengikuti pengajian. Terkadang ibu menjadi jengkel pada ayah mengingat usianya yang sudah tua, namun beliau tampak seperti tidak kenal lelah, terus menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan ruhani. Ibu seringkali berkata kepada saya, “Nak, tolong nasihati ayah kamu supaya tidak pulang terlalu malam, karena ayah kamu sudah tua dan tubuhnya tidak sanggup lagi untuk begadang.” Sebagai seorang anak, saya menuruti ibu saya dan berkata pada ayah, “Ayah, jangan terlalu malam pulangnya karena tidak bagus untuk kesehatan ayah.” Ayah hanya menjawab “Ayah kan tidak pulang telat, ibu kamu saja yang terlalu khawatir”, kemudian beliau tersenyum hangat pada saya.
Yang paling disukai ayah adalah pengajian yang menjelaskan tentang ilmu tauhid, bahkan di papan dalam kamar tidurnya ayah selalu menulis ayat-ayat Al-Qur’an tentang kebesaran Allah. Suatu kali ibu memarahi ayah karena papan kamar bercorat-coret dengan tulisan ayat Al-Qur’an. Selain itu, sangat banyak buku-buku yang ayah tulis sebagai pengingat untuk dirinya.
Apa yang membuat saya terkesan adalah, ayah adalah sosok yang penyabar. Beliau tidak pernah membentak ibu, bahkan dari dulu saya dan kakak kandung tidak pernah dimarahi. Sungguh beruntung saya dilahirkan dari keluarga yang sederhana namun Allah selalu memberi kebahagiaan bagi keluarga kecil kami.
Ayah selalu memberi nasihat kepada saya, dan juga menyuruh saya untuk menghapalkan doa-doa yang bermanfaat. Karena saya seorang anak kuliah dan jauh dari orang tua, ketika saya pulang ke rumah, ibu selalu bercerita tentang ayah. Katanya, “Nak kamu tau tidak, kalau dulu, ayah pernah tidak tidur sebelum bisa menghafal surah Al Mulk seluruhnya. Bahkan sampai tengah malam ayah sibuk dengan hafalannya. Ibu memarahi ayah karena khawatir dia jadi sakit, namun ayah kamu tetap fokus pada hafalannya.” Ibu menjelaskannya pada saya sambil bercanda, karena ibu mengatakannya didepan ayah, yang dibalas dengan senyum candaan oleh ayah. Kemudian ayah berkata “Kalian jangan salah! Dalam hadist dijelaskan bahwa barangsiapa yang membaca surat Al-Mulk, maka akan dijauhkan dari siksa kubur. Itulah faedahnya.”
Ayah seringkali memberi nasihat kepada saya. Hal yang paling berkesan bagi saya adalah ketika saya shalat dan mukena mengenai kening saya. Seusai shalat, ayah menunjuk kening saya dan menyentuhnya seraya berkata, “Kening kalau sedang shalat jangan ditutup dengan mukena, tapi harus mengenai sajadah.” Memang, ayah bukan seorang ustad atau alim ulama, namun beliau adalah seorang penuntut ilmu, yang selalu haus akan ilmu agama. Bahkan ketika sakit beliau selalu teringat pada majelis pengajiannya. Pernah suatu hari ibu bercerita kepada saya, karena ayah sangat hobi bertanya pada ustad-ustad di pengajiannya, ada sebagian ustad yang tidak suka dengan beliau. Kemudian ustad tersebut mempermalukan ayah, tapi ayah tetap sabar. Bahkan ayah tidak peduli dengan perlakuan tersebut. Kami mengetahui cerita itu karena ada anggota majelis pengajian yang memberi tahu kejadian tersebut pada ibu. Yang marah bukan ayah tapi malah ibu.
Yang lebih menyakitkankan lagi adalah ayah pernah mendapat fitnah dari tetangga. Tetangga saya sering sakit-sakitan dan tetangga tersebut menfitnah ayah. Katanya ayah telah menguna-guna anaknya hingga menjadi sakit. Mereka menuduh ayah sebagai penyebabnya. Tetangga tersebut bercerita kepada ibu saya. Ibu yang mendengar cerita dari tetangga tersebut sangat sakit hati karena dia menuduh ayah yang bukan-bukan tanpa bukti. Tapi ibu tidak pernah menceritakan kejadian tersebut kepada ayah. Ibu hanya pernah bertanya kepada ayah, “Jika ada yang menuduh seseorang, misalnya menuduh orang lain diguna-guna gara-gara si fulan, tapi buktinya tidak ada, bagaimana hukumnya?” Ayah menjawab dengan tegas, “Kalau hal itu benar, maka yang melakukannya harus ditanya sampai mau mengakui kesalahannya. Tapi kalau yang menuduh itu tanpa bukti, maka orang tersebut sudah terjerumus dalam dosa fitnah. Dan berhati-hatilah dengan fitnah, karena fitnah bisa menyebabkan permusuhan dan bahkan berujung pada kematian jika orang yang terkena fitnah tersebut memendam rasa kebencian dan dendam.” Ibu hanya berkata dalam hati, “Sebenarnya yang difitnah itu adalah engkau wahai suamiku.” Ibu memendamnya dalam hati tidak menceritakan pada ayah perihal tetangga yang memfitnah ayah. Ketika ibu bercerita pada saya, saya sanggat marah karena tetangga menganggap ayah telah mengguna-guna (melakukan praktek sihir) kepada tetangga saya.
Ibu pernah berkata pada saya, “Ayahmu sangat rajin mengaji, tapi ketika bangun di tengah malam, ibu lihat dia hanya bangun untuk ke kamar kecil saja setelah itu masuk kembali ke kamar. Sebenarnya, ibu mau kalau ayah kamu ikut shalat Tahajjud dengan ibu.” Akhirnya saya menyampaikan keinginan ibu pada ayah, “Ayah tidak boleh begitu. Kalau terbangun tengah malam, sempatkanlah shalat walau hanya dua raka’at. Kan Allah berfirman bahwa barangsiapa shalat malam di kala orang tertidur pulas, maka Allah akan mengabulkan do’a orang tersebut.” Alhamdulillah, keesokan harinya setelah kejadian tersebut, ibu bilang kepada saya “Nak, teryata ayah kamu lebih menuruti nasihat kamu daripada ibu. Sekarang ayah ketika bangun tidur langsung shalat Tahajjud.”
Beberapa bulan setelah kejadian tersebut, tetangga saya sembuh dari sakitnya. Sebagai seorang istri, ibu saya tidak tahan lagi pada tetangga. Dia berkata “Sekarang anak kalian sudah sembuh, maka janganlah kalian memfitnah suami saya lagi.” Mereka hanya terdiam dan tidak menjawab apa-apa.” Namun yang berlalu biarlah berlalu. Seiring waktu berjalan, akhirnya hubungan kami kembali membaik dengan tetangga tersebut.
Setelah saya selesai Ujian Akhir Semester, seperti biasa, saya pun pulang kembali ke desa untuk berkumpul dengan keluarga karena kuliah diliburkan pada bulan Maulid sampai Rabiul Akhir. Tiga hari sebelum ayah meninggal, ayah saya dengan ibu duduk di depan teras rumah. Tiba-tiba ayah berkata dengan wajah tersenyum, “Nak, sebenarnya ayah meninggal hari ini, tapi karena ayah membaca do’a yang diberikan oleh ustad ayah di pengajian, Allah memberi ayah umur 3 hari lagi untuk hidup dan bertaubat kepada Allah.” Kami berpikir bahwa ayah sedang bercanda. Seraya tertawa, saya, ibu, dan kakak berkata, “Ayah ini ada-ada saja! Mana ada orang yang mau meninggal dikasih tau kapan waktunya.” Ayah sambil tersenyum berkata, “Benar, ayah hari ini hampir saja meninggal di belakang mobil sahabat ayah. Seharusnya ayah meninggal di mobil, tapi karena ayah membaca doa yang diberi oleh ustad ayah, jadi ayah diberi kesempatan hidup 3 hari lagi.” Saya, kakak saya, dan ibu tetap tersenyum dan berkata “Ayah, rezeki, pertemuan, dan maut hanya Allah yang tau. Kita tidak tau kapan kita meninggal.” Ayah menjawab, “Tapi Allah juga memberi tanda-tanda pada kita.” Tampak ayah tetap berkomitmen pada peryataannya. Kemudian beliau berpesan “Kalau ayah meninggal nanti, tolong sampaikan pada ustad ayah. Beliaulah yang nanti menshalatkan jenazah ayah.” Ketika ayah berkata begitu, ibu berkata “Insya Allah.”
Ketika malam terakhir, ayah tidur begitu lelap. Jam 10:15 pagi, tepatnya hari Selasa tanggal 22 Februari 2014, saya dengan ibu sedang duduk bercerita tentang kuliah dan membahas tentang Maulid di TPA. Tiba-tiba kami mendapat telpon dari abang kandung yang kedua. Dia mengabarkan kalau ayah jatuh dari pohon melinjau. Dengan hati yang cemas saya, kakak, dan ibu langsung menuju ke kebun. 5 menit setelah sampai di kebun, abang kandung yang pertama juga tiba dikebun. Banyak warga kampung berdatangan dan menceritakan kejadian ayah jatuh. Mereka berkata bahwa ketika ayah jatuh, beliau bershalawat sangat kencang dan berdzikir. Ayah sempat diurut oleh tukang urut. Saat itu ayah tidak sadarkan diri. Kami anak-anaknya pun bebisik di telinganya, “Ayah, yang sabar ya?” Tiba-tiba ayah sadar dengan kondisi sangat lemas. Ambulan pun ditelfon, kondisi ayah semakin lemas dan ibu mengatakan pada kami “Nak, kalian jangan berucap “La Ilaha Ilallah” karena kondisi ayah sanggat lemas. Kalian bisikkan saja Allah, Allah, Allah.” Maka kami berbisik pada Ayah untuk mengucapkan “Allah, Allah, Allah” dan seterusnya. Dengan berlinang air mata kami selalu berbisik ke telinga ayah. Sesekali kami melihat wajah ayah. Dengan terbata-bata beliau mengucapkan “La ilaha ilallah.” Kami semua berucap “Allah, Allah” tapi ayah mengucapkan “LA ILAHA ILALLAH” dengan suara yang sayup-sayup terdengar.
Akhirnya, takdir pun berbicara. Ayah meninggal tanpa hembusan nafas yang panjang, seperti orang yang sedang tertidur. Saat itu saya tidak bisa menahan tangis. Saya bukan menangisi kepergian Ayah, tapi menangis karena Ayah sempat bersyahadat sebelum kepergiannya. Tangis ini adalah tangis kesedihan bercampur rasa syukur karena insya Allah beliau meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Saya tidak bisa berkata-kata apapun, saya hanya mengeluarkan air mata, karena menginngat setiap seusai shalat, saya selalu berdoa pada Allah jika kelak salah satu orang tua saya dicabut nyawanya, jadikalah kata-kata terakhir yang mereka ucapkan adalah LA ILAHA ILALLAH MUHAMMADUR RASULULLAH. Sungguh Allah telah mengabulkan doa hamban-Nya. Maha suci Allah yang memperkenankan doa hamba-Nya.
Seusai jenazah beliau dimandikan, kami melaksanakan pesan ayah untuk dishalatkan oleh ustad yang ayah sampaikan. Ketika ustad tersebut memberikan ucapan terakhir dan meminta maaf kepada ayah yang sekarang sudah terbaring, ustad tersebut menangis dan berkata bahwa ayah adalah murid kesayangannya. Dia adalah murid yang paling dekat dengan beliau. Masya Allah, yang menshalatkan ayah begitu banyak jama’ahnya. Di sepertiga malam, saya bermunajad pada Allah untuk bisa melihat kondisi ayah. Malam pertama isak tangis untuk ayah masih saja mengalir di pipi ini karena benar-benar merasakan kehilangan sosok yang menjadi panutan hidup saya. Di malam kedua saya bermimpi bertemu beliau. Saya bertanya, “Ayah, bagaimana kabar ayah disana? Apakah doa anak-anakmu bisa membantu ayah dari gelapnya alam barzakh? Apakah ayah termasuk orang yang bahagia disana atau mendapat siksa?” Ayah mengatakan “Tenang nak, ayah disana berteman bersama para syaikh.” Saya tidak tahu apakah mimpi itu hanya bunga tidur belaka atau yang lain. Setelah itu saya tidak pernah bermimpi ayah lagi sampai sekarang.
Sebagai seorang anak saya sangat bersyukur kepada Allah karena telah dikirimkan seorang ayah yang selalu menjaga saya dan senantiasa memberikan petuah-petuah agama. Sungguh, rindu diri ini padanya, rindu mendengar nasihat-nasihat Islam darinya, rindu akan suara lantunan Al-Mulk yang beliau lafadzkan setiap malam sebelum tidur.
Saya pernah mendengar hadist Rasulullah, “Apabila salah satu orang tuamu meninggal dunia, maka hilanglah satu keberkahan darimu.” Ya Rabb, diri ini telah kehilangan satu keberkahan, kini hamba memohon agar hamba selalu bisa mendo’akan ibu hamba, jika kelak engkau mengambil ibu hamba, maka jadikanlah kata-kata terakhir beliau seperti ayah hamba. Sejak ayah meninggal, kondisi ibu sering sakit-sakitan. Saya sangat sedih melihat kondisi ibu,tapi jika sewaktu-waktu ibu diambil oleh Allah, saya harus ikhlas karena hanya doa anak, shadaqah jariah, dan ilmu yang bermanfaatlah yang pahalanya senantiasa mengalir bagi almarhum.
Semoga kisah tersebut menjadi iktibar untuk para pembaca. Semoga Allah selalu memberi hidayah kepada kita semua. Semoga Allah mematikan kita semua dalam keadaan khusnul khatimah dan mengumpulkan kita semua bersama-sama dalam surga-Nya kelak. Semoga kita juga dipertemukan dengan orang-orang terkasih dalam surga-Nya nanti. Aamiin, aamiin ya rabbal ’alamin.
Posting Komentar untuk "Ayah Menjadi Teladan Bagiku"