Suara Itu

Ia mulai bekerja setelah senja menyapa. Ratusan orang selalu menantinya, untuk menikmati sajian irama yang dibuatnya. Mereka menikmati alunan merdu setelah penatnya pekerjaan, atau memang hanya mencari kesenangan.

Keriangan mereka yang menggoyangkan tubuh, yang sebagian dipengaruhi minuman yang memabukkan, juga mungkin karena obat terlarang yang disamarkan. Malam semakin larut dan bertambah liar saat bunyi semakin menyentak gendang telinga.

Ia harus berpakaian serba terbatas, karena menjadi bagian dari pesta. Bahkan nyaris kain yang menempel tidak menutupi bagian penting tubuhnya.

Uang dari penampilannya dalam sekali sering melebihi gaji orang kantoran yang didapat selama sebulan. Soal fasilitas dunia, terlalu mudah didapatnya. Mobil, pesawat, rumah, dan yang lainnya selalu kualitas terbaik di kelasnya.

Hampir semua kesenangan dunia telah dirasakannya. Gaya hidup dan keadaan dirinya, menjadi target perempuan lain yang ingin mengikuti jejaknya.

Namun, jauh dilubuk hatinya. Hampir dua minggu ini batinnya terasa terganggu. Walaupun makanan enak tersaji, rasanya hambar. Ia seperti bersenang-senang, tapi hatinya rapuh, kosong, dan kering. Uang yang berlimpah tidak membuatnya tenang dan nyaman.

Satu-satunya yang mengobati kejenuhan dan keringnya hati, adalah suara yang bersahutan di saat subuh tiba, setelah pulang dari tempat bekerjanya. Indah sekali rasanya. Suara itu selalu membuatnya menangis tanpa direncanakan.

Ia tidak tahu itu suara nyanyian, seruan, atau bacaan kitab suci. Tapi suara itu selalu memecah di keheningan akhir malam. Bersahutan, dengan nada yang berlainan tetapi dengan syair yang sama.

Hampir sebulan, ia menyimpan penasaran akan suara itu. Semua suara itu dianggapnya sebagai gangguan, tapi semakin sering didengarnya dengan penuh perhatian. Rasa damai menerpa hatinya yang kering. Sehingga, waktu hadirnya suara itu selalu dirindukan setelah kembali ke rumahnya. Di balkon lantai tiga, sambil memandangi langit yang masih gelap.

"Allahu Akbar" itu syair pertamanya. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia cari itu suara apa. Lewat berselancar di internet, akhirnya ia mendapatkan jawaban. Bahwa itu adalah suara azan, suara panggilan untuk orang Islam yang menandakan waktu salat sudah masuk.

Di YouTube, ia dapat menemukan irama azan yang berbeda. Namun, semuanya menggetarkan hatinya. Semula, ia agak kaget bahwa Islam memiliki keindahan. Karena, informasi yang sering didengarnya agama itu sangat kaku dan membatasi. Bahkan sering kali sebagian temannya menunjukkan rasa bencinya kepada hal-hal yang berbau Islam.

Azan dianggapnya sebagai penghibur hati, bahkan ia mencoba menghafalnya. Saat mencoba melafalkannya, tanpa terasa ada keharuan yang merasuki batinnya. Tanpa diundang air matanya menetes, entah kenapa setiap menyebut nama Allah ada getaran yang berbeda.

Ia akhirnya tahu tidak hanya subuh, suara azan itu berkumandang. Hanya saja di siang hari, ia masih terlelap tidur. Setelah bergadang semalaman.

Demi mendengar suara itu, ia berupaya menemukan masjid tempat yang memang menjadi sumber suara azan. Ia hanya duduk di serambi sambil memperhatikan beberapa orang yang terlihat tenang saat melakukan beberapa gerakan, seperti senam tapi terlihat penuh penghayatan. Terlihat penuh kedamaian, dan setelah melakukan itu selalu terlihat rona kegembiraan.

Sengaja di serambi ia memisahkan diri. Karena pakaian yang digunakan berbeda, perempuan lain menggunakan penutup kepala, dan pakaiannya tertutup. Ia mencoba menyamakan diri dengan menggunakan jaket longgar dan penutup kepala.

Setiap hari, sepertinya perempuan cantik itu semakin terpesona dan terbuai oleh suara azan yang menyapa batinnya yang kering. Mulailah ia sering beralasan saat tidak ingin pergi senja, untuk bekerja. Lagi pula apa yang ia cari? Sepertinya gembira dan tertawa namun semua hanya semu, karena esok pagi dunia tetap sama.

Ia justru semakin penasaran, dengan aura wajah orang-orang di masjid yang terpancar penuh ketenangan, kesejukan dan yang pasti menghadapi hidupnya dengan keyakinan, bahwa tantangan hidup harus dihadapi bukan dijauhi.

Dengan pengamatannya yang tajam, ia menyaksikan bahwa mereka yang tersenyum dan penuh optimisme itu. Dari segi penghasilan, sebenarnya di bawah dirinya. Tetapi, mengapa mereka dapat menghadapi hidup tanpa terlihat penuh tekanan, bahkan depresi seperti dirinya yang harus meminum pil tidur agar terlelap.

Keingintahuannya mengantarnya untuk mencari referensi salat, selain melihat tayangan YouTube. Pekerjaan malamnya mulai terbengkalai, bahkan ia memutuskan semua kontrak. Karena ini lebih penting dibanding dengan uang yang dapat dia kumpulkan. Ini tentang makna hidup yang selama ini dicarinya. Lagi pula, bisnis lain masih lebih dari cukup untuk menghidupinya. Apalagi jika ia mampu menurunkan standar hidupnya yang sering kali berlebihan dalam segala hal.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, dengan berbekal keberanian dan rasa penasaran. Ia mencoba melakukan salat, ibadah yang asing dan baru pertama kali dalam hidupnya.

"Allahu Akbar"

Sambil mengangkat tangan, bertakbiratul ihram. Pelan, walau belum fasih. Namun, seperti ada yang merasuk ke dalam batinnya. Mengalir sangat dingin, menenangkan, menyejukkan. Mengguncang batinnya, mengharukan, dan tanpa diundang air mata menetes. Semakin dilanjutkan, gerakan salat yang dihafalnya itu. Semakin membuatnya menangis, bahkan di saat sujud ia sesenggukan menangis hingga sajadah demikian basah. Dua rakaat yang membuat batinnya haru itu kemudian ditutup dengan salam.

Assalamu'alakum wa rahmatullahi wa barakatuh

Tangisnya kembali pecah, setengah berteriak, sambil berujar.

"Ya Tuhan, terima kasih!"

Sejak itu ia seperti kecanduan salat, selain yang salat wajib, tahajud pun dilakukan. Jika biasanya tengah malam berada dalam suasana ingar bingar, gemerlap lampu dan alunan musik yang mengguncang. Kini, ia sedang bersujud menikmati komunikasi istimewanya dengan Sang Maha Pencipta.

Salat diupayakan untuk awak waktu, karena jika terlambat terasa baginya berbeda. Menariknya, ia sebenarnya belum menjadi muslim. Hingga akhirnya ia tahu bahwa sebelum melaksanakan salat seharusnya menjadi muslim dulu. Namun, tidak perlu menunggu lama ia akhirnya memilih muslim dan meninggalkan pekerjaannya dulu. Kini, ia memilih untuk berbisnis makanan Eropa, karena walau bagaimanapun dia pernah kursus masak saat masih tinggal di Nantes, Prancis.

Saat ini, ia tidak lagi hanya melihat muka-muka berseri sekelompok orang yang keluar masjid setelah salat. Namun, ia menjadi bagian di dalamnya, menikmati jamuan Tuhan Yang Maha Kasih. Sering kali tawaran kerja seperti dulu datang, dengan godaan uang yang berlipat. Tapi, dengan sepenuh keyakinan ia memilih jalan yang dipilihkan Allah taala. Menjadi muslimah, sekaligus businesswoman. Memang penghasilannya tidak sebesar dulu, tapi ketenangan batinnya tidak dapat digadaikan dan dihargai dengan jumlah uang berapa pun.

Sumber: Zuhri, Saepudin. (2022). Salat On Time, Karena Mati Any Time. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Posting Komentar untuk "Suara Itu"