Memperbaiki Habit
Habit membentuk karakter dan karakter membentuk identitas diri. Ia dikenal sebagai orang jujur karena identitas itu telah melekat pada diri. Dalam kesehariannya, ia selalu jujur. la dijuluki pemalas tersebab hanya berbaring seharian tanpa melakukan apa-apa. Identitas itu melekat pada dirinya. Seseorang yang hobinya shopping, akan dikenal sebagai orang yang suka belanja. Seseorang yang memperoleh ranking 1 dari Sekolah Dasar (SD) bahkan Sekolah Menegah Atas (SMA) dikenal sebagai orang cerdas. Identitas itu melekat di dirinya.
Kita dikenal dengan apa yang menjadi habit atau kebiasaan kita. Pertama-tama memang kita yang menentukan apa habit kita. Setiap pagi ingin mengerjakan apa, setiap sore akan melakukan apa, namun lama-kelamaan habit itu yang akan membentuk siapa kita.
Habit atau dalam terjemahan Bahasa Indonesia bermakna kebiasaan. Kebiasaan adalah rutinitas yang dilakukan secara ber- ulang-ulang atau berkelanjutan. Seringnya tanpa disadari, tubuh sudah refleks akan mengulangi perbuatan tersebut pada waktu yang sama. Betapa pentingnya, kita mulai menentukan apa habit kita sedari sekarang dengan mengazamkan apa cita yang ingin dicapai.
Untuk penulis buku-buku motivasi, nama yang sudah pasti tak asing di telinga kita, Ahmad Rifa'i Rifan. Beliau berhasil menulis hingga puluhan buku saat masih di bangku kuliah. Dengan segala aktivitas yang harus ditekuni sebagai mahasiswa mulai dari magang hingga penyusunan tugas akhir. Tiada waktu yang ia habiskan tanpa menulis bahkan dalam sehari mampu menulis hingga berjam-jam. Di sela-sela bimbingan skripsinya saat menunggu dosen, tak luput ketikan-ketikan mengisi waktunya. Tidak harus menggunakan laptop, pensil dan buku pun jadi, hingga tak satupun ide menguap. Nah, habit-nya membentuk siapa dirinya yang kita kenal sekarang, yakni seorang penulis.
Seorang profesor dengan gelar berderet panjang di belakang nama, decak kagum orang-orang sekitar melihatnya. Yang kita saksikan adalah hasil dari habit-nya. Proses yang ia lalui mungkin tak kita kenal. Habit-habit yang membentuk beliau hingga seperti sekarang tak pernah kita ketahui. Tak terhitung berapa banyak buku yang telah dilahapnya, entah berapa banyak waktu yang dihabiskannya untuk membaca. Mungkin saja di saat remaja, pada saat anak-anak seusianya sibuk bermain dan nongkrong dengan teman untuk hang out atau sekadar belanja. la tak sempat melakukannya. Ia sibuk dengan habit-nya.
Jika menilik beberapa tahun ke belakang pada tahun 2010-an ke bawah, jika kita bertanya kepada anak-anak sekolah tentang cita-cita, beraneka jawaban pun terlontar. Seolah dipenuhi oleh banyak hal yang menarik tatkala mereka menyebut satu persatu cita-cita mereka. Saya ingin menjadi dokter agar bisa mengobati orang sakit. Aku ingin menjadi guru seperti ibu guru. Pilot saja, saya mau menerbangkan pesawat. Dengan senyum merekah dan mata berbinar, jawaban-jawaban positif keluar dari mulut mereka. Tetapi berbalik dengan zaman sekarang, bahkan anak SMA saja, ketika ditanya ingin menjadi apa? Mereka banyak yang belum tahu keinginannya. Pertanyaan tentang cita menjadi sebuah pertanyaan yang jawabannya tersisa misteri.
Masing-masing zaman memiliki ceritanya, setiap usia melalui prosesnya. Mindset anak-anak SD pada sepuluh tahun yang lalu telah jauh berbeda dibanding mindset anak-anak SD di era sekarang. Banyak faktor-faktor yang melatarbelakangi, seperti tontonan, pergaulan hingga makanan yang masuk ke dalam perut. Mulailah perbaiki habit dari hal-hal kecil, semisal bangun tidur di pagi hari terlebih untuk sekarang ini.
Muncul dan menyebarnya virus Covid 19, berakibat pada penghentian aktivitas untuk sementara. Pekerjaan dialihkan ke rumah, aktivitas perdagangan dikurangi hingga proses belajar- mengajar menjadi daring (online). Proses pembelajaran yang dilakukan di rumah tentu saja tidak seperti di sekolah. Terutama proses mendidik dan membimbing yang terbatas dengan tiada pertemuan tatap muka antara guru dan murid. Habit seorang anak telah mulai berubah, dari yang tadinya sudah siap untuk menimba ilmu, menuju ke sekolah setiap pagi. Sekarang tidak lagi, kendala yang dihadapi, bangun paginya seorang anak.
Dorongan bangun pagi seharusnya dimulai dari dalam diri, dengan memikirkan cita apa yang ingin dicapai. Habit bangun pagi adalah baik, bukan? Habit baik ini akan mengundang habit-habit baik lainnya. Dengan bangun awal, kau tak akan terlambat mengikuti pembelajaran daring, materi tidak akan tertinggal, dan banyak tugas yang bisa diselesaikan. Tidak hanya untuk anak usia sekolah. Untuk setiap manusia, habit bangun pagi sangat menentukan kualitas hidup, berapa banyak pekerjaan terselesaikan, begitu pula amanah-amanah tertunaikan segera bahkan tak jarang rezeki lain menantimu.
Nah, bukankah tujuan sejati seorang manusia, seorang hamba, adalah rida-Nya? Akhir yang dicari adalah husnul dan tempat yang ingin ditinggali yakni surga. Mulailah membangun habit-habit yang akan mengantarkanmu ke sana. Paksakan, kemudian menjadi kebiasaan, setelah itu berubah menjadi kenikmatan. Seorang ustaz menasihatkan, amal ibadah dimulai dengan keikhlasan, berakhir dengan kenikmatan. Sedangkan kemaksiatan diawali dengan keraguan, berakhir dengan penyesalan.
Sumber: Herawati. (2022). Menjadi Hamba yang Dicintai Allah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Posting Komentar untuk "Memperbaiki Habit"
Posting Komentar