Menyambut Kekasih
"Jika kaki ini masih sulit dilangkahkan menuju salat, adakah orang yang tidak ingin berjumpa Kekasihnya?!" (Ibnu Athaillah)
Bagi Yusuf, bukan kali ini saja, ia salat Asar di masjid sebelum pulang ke rumah. Seperti biasa, setelah refresh dengan bermain bola bersama teman-temannya. Beberapa menit sebelum Asar, bahkan terkadang tepat saat azan berkumandang. Ia segera ke masjid An-Nur untuk wudu, walau masih berkeringat untuk bersama-sama bersiap salat berjamaah Asar.
Namun ada pemandangan yang selalu menggelitiknya, karena setiap Asar, ada jemaah yang menurutnya sangat misterius. Seorang pedagang gorengan, yang setiap hari kedatangannya ke masjid An-Nur, selalu dalam waktu yang relatif sama. Setengah jam sebelum Asar. Menjadi perhatiannya, karena setelah sejenak beristirahat, segera bergegas ke kamar mandi. Awalnya sih dianggap biasa saja. Namun, yang membuatnya kagum, sebelum memasuki masjid, ia selalu mandi terlebih dulu. Tak hanya itu, pakaian kerjanya yang lusuh ia ganti dengan pakaian yang bersih serta indah diserasikan dengan kain sarung yang bersih. Bagi Yusuf, penampilan seperti itu, biasanya di lakukan paling-paling saat mau salat Id, Lebaran atau hari raya Kurban. Karena sudah hampir bertahun-tahun sejak SMP hingga kini SMA, kalau salat ya langsung aja, apalagi waktunya mepet. Kadang setelah main bola dengan keringat yang bercucuran, belum lagi celana yang agak bertanah, langsung wudu dan salat. Bawa kain sarung, ah merepotkan.
Sejak lama Yusuf ingin sekadar menyapa bapak itu, dan kini ia berkesempatan menyapanya,
"Assalamualaikum, Pak?"
"Waalaikumussalam, Dik."
Setelah berbasa-basi ia langsung bertanya pada sasarannya.
"Maaf Pak, kalau boleh nanya, mengapa kok kalau mau salat harus mandi dulu, ganti pakaian, apa nggak repot?" tanya Yusuf.
"Biasa aja Dek, Bapak mah malu aja sama Allah!" Ujarnya dengan nada sendu.
Sejenak kemudian bapak itu pun pergi sambil membawa gerobaknya. Semua karena malu. Yusuf pun termenung, malu bertemu Allah dengan pakaian sisa. Menghadapnya dengan tubuh yang sisa. Ah, bukankah semuanya dari Allah lalu mengapa saat menghadap-Nya seolah-olah menjadi orang yang tidak punya. Bapak itu menghadap-Nya dengan cinta, karena hanya kekasih yang mempersembahkan yang terbaik untuk yang dicintainya. Kalau menghadap-Nya dengan pakaian kumal malu, lalu bagaimana dengan yang menghadap-Nya dengan kalbu yang kumal, kumal dengan kesombongan dan keserakahan?
Dari Ibnu Mas'ud ra., ia berkata:
Saya bertanya kepada Nabi Saw., 'Amal apakah yang paling dicintai Allah?' Beliau menjawab, 'Salat tepat pada waktunya.' (HR. Bukhari)
Bagi seorang pecinta, tentu pantang untuk mengulur waktu, saat sang kekasih memanggilnya. Bagaimana disebut pecinta, jika tak ada getaran hati saat sang kekasih memanggilnya. Hanya pecinta sejati, yang tidak akan menunda pertemuan dengan yang dicintainya.
Seorang mukmin adalah insan yang sangat dalam cintanya kepada Allah taala,
"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan; yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah." (QS. Al-Baqarah: 165)
Bagi insan muttaqin, lantunan azan tidak saja panggilan mu'adzin, namun seruan kekasih hatinya, Allah taala.
Tiada lagi alasan baginya untuk mengabaikan panggilan-Nya. Kerinduan akan terobati, karena pertemuan dengan Allah taala melalui salat adalah kesenangan hatinya,
"Dijadikan sejuk mataku dalam salat." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)
"Allahu Akbar"
Allahlah Yang Maha Besar, Maha Besar cintanya kepada kita semua. Cinta-Nya telah melampaui murka-Nya. Walaupun begitu sering di antara kita, menodai kecintaan Allah yang tanpa batas dengan kelalaian menepati waktu salat. Berulang kali yang kita akbar-besarkan bukan Allah taala, melainkan pekerjaan, uang, jabatan, tontonan, serta yang lain. Termasuk kekasih-kekasih sementara seperti istri, anak, sahabat dan kekasih selain Allah lainnya.
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari berzikir kepada Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. Al-Munafiqun: 9)
"Allahu Akbar"
Apakah lantunan itu menggetarkan kalbu? Jika tidak. Mungkin terlalu banyak kekasih palsu dalam kalbu.
"Tidaklah seseorang mencintai sesuatu, melainkan ia menjadi hambanya, dan Allah tidak mencintaimu apabila dirimu menjadi hamba selain-Nya." (Syekh Ibn 'Atha'illah As-Sukandari Al-Hikam)
"Allahu Akbar"
Diulang berkali-kali, seolah penegasan, di mana kekasih Allah? Manakah insan yang mengakui kebesaran-Nya? Di manakah orang-orang yang mengaku mengimani-Nya?
"Asyhadu an laa ilaaha illallah"
Di manakah insan yang bersaksi bahwa tiada yang lebih dicintainya kecuali Allah?
"Asyhadu anna Muhammadar rasulullah"
Di manakah insan yang mengaku bahwa Rasulullah adalah utusan-Nya, teladan hidup, dan kekasih-Nya?
"Hayya 'alash-shalah hayya alal falah"
Marilah salat, marilah berbahagia. Berbahagia karena akan menemui Sang Maha Pemberi Kebahagiaan, Allah Swt.
Tiada sesuatu pun yang selayaknya didahulukan, selain pertemuan dengan Allah, salah satunya melalui salat. Bukankah salat untuk mengingat-Nya?
"Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku." (QS. Thaha: 14)
Sejarah telah merekam dengan jelas, bagaimana para pecinta Allah taala, begitu bergemuruh kalbunya menyongsong pertemuan dengan Allah salah satunya melalui salat. Semoga kita digabungkan dengan mereka. Aamiin.
Sumber: Zuhri, Saepudin. (2022). Salat On Time, Karena Mati Any Time. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Posting Komentar untuk "Menyambut Kekasih"
Posting Komentar