30 Tahun Salat

Ada saatnya salat terasa seperti beban dan sekadar dilaksanakan. Itu juga yang dialami oleh Farid. Karenanya, di antara jalan untuk kembali menguatkannya. Ia harus mendapat nasihat, dan siraman kalbu.
Seperti biasa ia sempatkan untuk berkunjung kepada Kiai Muhammad, gurunya yang selalu menyambut salat dengan penuh ketulusan.
Saat berada di madrasah, Farid berhadapan langsung dengan Kiai Muhammad. Secara tiba-tiba, lisan mulia itu berujar:
"Ada saat, salat seperti menjadi beban sehingga terasa kering, karenanya ada baiknya kita belajar dari orang-orang saleh."
Farid seolah mendapat jawaban, gurunya seperti tahu bahwa dirinya sedang mengalami kegersangan batin. Saat Farid menundukkan kepalanya, seolah siap menerima nasihat sang guru. Kiai melanjutkan,
"Pernah ada yang bertanya kepada Syekh Hatim Al-Asham, tentang bagaimana ia salat. Lalu apa jawaban Syekh Hatim?"
Puluhan orang di madrasah terdiam, dengan pertanyaan kiai yang memang tidak memerlukan jawaban.
"Syekh Hatim menjawab bahwa saat memasuki waktu salat, ia akan segera berdiri untuk berwudu baik lahir maupun batin, lalu apa wudu batin itu?" Kiai kembali seolah bertanya.
"Wudu batin itu adalah saat melakukan wudu, maka dibasuh pula hati dengan tobat, penyesalan atas dosa-dosa yang pernah dilakukan, kemudian melepaskan ingatan akan dunia yang tidak penting, meninggalkan pujian dari manusia, menanggalkan kebencian juga hasad," lanjutnya.
Farid dan semua yang hadir terdiam, nasihat lembut tentang wudu itu membuat semua merenung. Bahwa makna wudu begitu dalam bagi orang saleh seperti Syekh Hatim.
Kiai pun meneruskan,
"Setelah wudu itu, Syekh Hatim akan bergegas menuju masjid untuk salat. Saat ia berdiri untuk salat. Beliau membangun perasaannya, sebagai hamba Allah yang sangat bergantung kepada-Nya. Seakan berada di hadapan Allah, sedangkan di samping kanannya surga dan di kirinya neraka. Izrail, sang pencabut nyawa berada di belakangnya. Ia merasa sedang berjalan di jembatan shirat dan merasa bahwa inilah salat terakhirnya."
Semua yang mendengar semakin larut dalam perenungan, termasuk Farid yang mulai merasakan kesenduan. Sambil memikirkan salatnya yang sering kali dia lakukan tanpa kehadiran hati yang penuh ketundukan.
Kiai meneruskan pembicaraannya dengan lembut dan berwibawa,
"Lalu, Syekh Hatim berdiri berniat, dilanjutkan dengan mengucapkan takbir sepenuh penghayatan, membaca Al-Fatihah dan surah disertai perenungan. Rukuk, sujud, i'tidal, penuh ketundukan dan kerendahan hati. Saat tasyahud beliau membacanya penuh harapan. Dan akhirnya mengucapkan salam dengan ikhlas. Disertai keyakinan bahwa salatnya belum tentu diterima."
Farid semakin menunduk, merasa bahwa selama ini salatnya begitu-begitu saja. Tanpa pemaknaan. Saat sedang menerawang salat yang telah dilakukannya. Kiai memecah ingatannya dengan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban.
"Tahukah saudaraku semua, berapa lama Syekh Hatim salat seperti tadi?"
Semua terdiam. dengan pertanyaan retorika kiai, yang berikutnya justru dijawab oleh beliau.
"Syekh Hatim salat seperti itu, selama tiga puluh tahun. Saya juga masih belajar, untuk salat seperti beliau!"
Sudut mata Farid sembab, setitik air mata menetes. Sungguh nasihat kiai benar-benar menjadi cambuk buat dirinya untuk melakukan salat lebih bermakna.
Sama seperti Farid, begitu juga saya yang karena terlalu tertarik medan magnet dunia. Sering kali secara rohani rapuh. Sehingga salat hanya tinggal gerakan dan bacaan, tanpa pemaknaan. Semoga Allah mudahkan untuk selalu dipertemukan dengan siapa pun yang menjadi jalan agar dapat memaknai salat dengan penuh kekhusyukan.
Sumber: Zuhri, Saepudin. (2022). Salat On Time, Karena Mati Any Time. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Posting Komentar untuk "30 Tahun Salat"
Posting Komentar