Melawan Kemaksiatan Diri

Kajian di masjid sekolah itu telah selesai, sebagian besar siswa juga telah beranjak untuk kembali ke rumahnya. Namun, ada seorang siswa yang memilih untuk tetap di pelataran masjid, menunggu waktu yang tepat untuk bertanya kepada pengisi kajian.
Ilham, sebenarnya baru kali ini mengikuti kajian yang memang rutin di gelar setiap Jumat bakda Asar. Setelah berjemaah Asar kemudian berzikir, maka kajian dimulai dengan tadarus Al-Qur'an sekitar lima belas ayat. Dilanjutkan dengan pembacaan selawat bersama-sama, kemudian berdoa untuk orang tua, guru yang pernah berjasa, juga untuk kebaikan semua kaum muslimin.
Semula, Ilham hanya mendengar di pelataran masjid, tidak ada niat untuk bergabung. Tetapi, lama-kelamaan ia merasa nyaman dengan kajian, yang selalu diawali dengan kisah inspiratif.
Di antara kisah yang membekas di hatinya, adalah tentang begitu berbaktinya seorang Uwais Al-Qarni. Sehingga Ilham terinspirasi untuk berbakti kepada orang tuanya.
Kali ini, Ilham sengaja bergabung dan berada di barisan depan. Selain mengharapkan hadirnya hidayah dari Allah taala, ia sebenarnya sedang mengalami kegalauan. Sebagai anak muda yang sedang berupaya meniti jalan kebaikan, ia selalu saja tergoda sehingga terjatuh pada hal yang Allah perintahkan untuk dijauhi.
Menurut, Ustaz Fahmi sebagai pengisi kajian, begitu respek terhadap berbagai pertanyaan seusianya yang terkadang menanyakan hal yang nyeleneh. Ustaz Fahmi juga sangat hati-hati dalam menjawab pertanyaan, sehingga tak jarang ia menyatakan tidak tahu, menolak untuk menjawab pertanyaan, serta meminta waktu untuk bertanya kepada ahlinya, atau membaca kembali referensi yang pernah dipelajarinya.
Karenanya, Ilham ingin menanyakan tentang kondisinya. Ia ingin bertanya langsung kepada Ustaz Fahmi yang menurutnya asyik diajak ngobrol dan dapat dipercaya. Apalagi raut wajahnya yang teduh berhias senyum itu, membuat siapa saja nyaman berbincang dengannya.
Setelah hampir lima belas menit menunggu, Ilham memberanikan diri untuk bertanya. Bangkit dari tempat duduknya menuju Ustaz Fahmi yang masih duduk di pojok lain di pelataran masjid.
"Assalamualaikum, Ustaz." Ilham membuka pembicaraan.
"Waalaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh," jawab Ustaz Fahmi dengan sorot mata yang lembut namun penuh perhatian.
"Ustaz, izin bertanya boleh?" ucap Ilham.
"Tentu boleh, semakin sulit pertanyaannya maka semakin mudah menjawabnya!" Ustaz Fahmi seperti terlihat sombong.
"Soalnya untuk pertanyaan sulit, saya tinggal menjawab tidak tahu!" Ustaz Fahmi kembali melanjutkan.
Ilham baru tersadar bahwa ungkapan Ustaz Fahmi justru memperlihatkan bahwa ia akan menjawab yang memang dikuasainya. Tidak akan menjawab sesuatu yang memang tidak mampu serta tidak memiliki ilmu tentangnya.
"Begini Ustaz, saya sedang belajar bertobat, belajar memperbaiki salat agar tidak bolong-bolong lagi. Tidak melihat yang tidak layak gitu pokoknya. Nggak mau minum yang dilarang, dan yang lainnya. Tapi saya sering tergoda lagi, apalagi teman-teman masih saja ngajakin. Bagaimana Ustaz supaya saya istikamah, mungkin ada tipnya?" Ilham akhirnya bertanya tentang kegalauannya.
"Dik Ilham ini anak muda yang dicintai Allah, masih muda tapi sudah memikirkan untuk istikamah dalam bertobat, padahal saya juga sama masih belajar bertobat," jawab Ustaz Fahmi.
"Boleh kalau saya jawab pertanyaannya dengan kisah anak muda?" malah bertanya.
"Boleh Ustaz, sepertinya kisahnya seru nih!" Ilham terlihat tertarik.
"Suatu waktu ada seorang pemuda yang berjumpa dengan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Ia agak panik karena botol minuman di balik bajunya terlihat oleh Sayyidina Umar. Ia tentu malu dan sungkan untuk menjawab jujur pertanyaan tentang isi botol itu. Sehingga ia bermohon kepada Allah untuk menutup aibnya, dan bersumpah tidak akan meminum khamar untuk selamanya. Ia bermohon dengan sepenuh hati. Sehingga akhirnya pemuda itu menjawab bahwa yang dibawanya adalah cuka. Namun, Sayyidina Umar ingin melihatnya, dan akhirnya botol dan isinya itu dibukanya. Dengan izin Allah, botol itu menjadi berisi cuka bukan khamar. Pemuda itu bersyukur kepada Allah, kemudian menetapi janjinya untuk meninggalkan meminum khamar selamanya.:
Ilham terkesima dengan kisah itu.
"Dik Ilham dapat menemukan kisah tersebut pada karya Imam Al-Ghazali yang berjudul Mukasyafatul Qulub, beliau juga berkomentar singkat tentang kisah tersebut bahwa karena keikhlasannya dalam bertobat, Allah mengganti khamar dengan cuka."
"Karena itu Dik Ilham, mari kita memohon pertolongan Allah dengan penuh keyakinan disertai sabar dan salat. Mari kita belajar istikamah secara pelan diawali dengan tekun melaksanakan salat awal waktu. Satu waktu dulu diupayakan dengan sebaik-baiknya, semoga Allah nanti menguatkannya. Kita mulai dengan menepati salat Subuh awal waktu, apalagi jika dilakukan berjemaah di masjid!"
Ilham terdiam, dan mencoba mencerna saran dari Ustaz.
"Jadi untuk awal, salat Subuh dulu ya Ustaz?"
"Betul, tapi salat yang lain juga jangan sampai lewat yah, lebih bagus lagi juga awal waktu. Lakukan selama empat puluh hari dan seterusnya. Ini salah satu yang dinasihatkan guru saya!" jawab Ustaz.
Sempat terpikir dalam benak Ilham, kenapa harus empat puluh hari, apa sih alasannya? Sebelum sempat bertanya. Ustaz seperti menjawab,
"Mengapa empat puluh hari, karena Rasulullah pernah bersabda,
'Barang siapa yang salat karena Allah selama 40 hari secara berjemaah dengan mendapatkan takbir pertama (takbiratul ihramnya imam), maka ditulis utnuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.' (HR. Tirmidzi)
Ilham pun mengikuti saran ustaz, walau bukan hal yang ringan, karena membutuhkan kesungguhan dan perjuangan. Tapi, Ilham menyadari sudah seharusnya jika memang mengharapkan kasih sayang Allah taala.
Hari pertama, kedua hingga sepuluh seperti tidak ada yang istimewa. Namun ada keheranan, karena ajakan melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya dari teman-temannya menjadi berkurang bahkan cenderung hilang. Sebaliknya, ia justru dipertemukan dengan anak seusianya yang juga menjadi pejuang subuh. Pertemanan mereka bahkan semakin erat dan menjadi komunitas tersendiri. Hingga akhirnya saling mengingatkan tentang salat lainnya, yang juga lebih utama untuk dilakukan di awal waktu dan berjemaah.
Setelah empat puluh hari, ternyata ia semakin menikmati riyadhah-nya itu. Kajian bersama Ustaz Fahmi juga rutin diikutinya. Disertai berbagi pengalaman kepada teman yang lainnya, bahwa Allah selalu memberi pertolongannya. Ia meyakinkan orang lain bahwa kenikmatan berbuat kebaikan itu lebih lezat dibanding perasaan yang seolah nikmat dalam kemaksiatan padahal penuh penyesalan dan penderitaan.
Ilham kini merasakan bahwa azan benar-benar menggetarkan hatinya. Bergegas dalam melakukan kebaikan termasuk dalam melaksanakan salat menjadi aktivitas yang dirindukannya. Secara pelan, perubahan dalam dirinya juga membawa pengaruh terhadap temannya. Yang semula sering kali mengajaknya melakukan hal yang tidak pantas, kini, tawa mereka justru hadir di serambi masjid, saat menunggu azan berkumandang. Menanti hidangan Allah dalam salat, yang menguatkan siapa pun untuk melawan kemaksiatan dalam diri.
"Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar keutamaannya (daripada ibadah-ibadah dan alam-amal ketaatan lainnya). Dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan." (QS. Al-Ankabut: 45)
Sumber: Zuhri, Saepudin. (2022). Salat On Time, Karena Mati Any Time. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Posting Komentar untuk "Melawan Kemaksiatan Diri"
Posting Komentar