Belajar dari Nabi Ismail

Nabi Ibrahim memiliki istri yang bernama Hajar. Ibunda Nabi Ismail. Hajar dan Nabi Ismail yang masih bayi harus tinggal di sebuah wilayah kosong, tanpa penduduk atas izin Allah. Berlarilah Hajar untuk mencari air, berkeliling 7 (tujuh) kali dari Bukit Shafa ke Marwah. Atas kehendak Allah, keluar air yang hingga sekarang tak pernah berhenti, air zamzam. Tidakkah Hajar sudah mengetahui bawah dari tempat ia berlari, tidak ada sumber airnya. Namun, ia terus berlari pada tempat yang sama. Sejatinya, ia sedang mencari pertolongan Allah, ia memohon dan meminta kepada Allah. Keluarlah air yang sangat dibutuhkan oleh Ismail dan Hajar bukan dari bukit yang ia kelilingi melainkan di dekat kaki Nabi Ismail. Salah satu rukun haji dan umrah yang dilaksanakan seluruh umat muslim adalah sai, berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah. Termaknailah peristiwa yang terjadi pada Hajar.

Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih Nabi Ismail. Pahamlah Nabi Ibrahim, perintah Allah yang turun kepada dirinya. Sangar berat dirasa bagi beliau, anak yang sangat dinanti kehadirannya, yang ia tunggu tawa dan tangisnya untuk memecah kesunyian rumah, harus disembelih dengan tangannya sendiri. Tetapi cinta dan taatnya kepada Allah jauh di atas itu semua. Begitupula dengan Nabi Ismail, ia mengikhlaskan dirinya karena mengetahui itu perintah Rabbnya. Hingga akan dilaksanakan olehnya, proses tersebut. Allah mengganti Nabi Ismail dengan kambing. "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (QS. As- Saffat: 107). Di sini, bersama-sama kita ambil pesan bahwa setiap diri akan diuji dengan apa yang paling dicintai dan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail telah lulus. Bahwa kita jangan terlalu berlebihan mencintai dunia fana ini beserta isinya. Hadiah yang sangat indah itu, diberikan kepada umat muslim, Idul Adha, yang diperingati sebagai hari raya kurban jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijah. Diajarkan kepada seluruh manusia untuk berbagi, kepada yang membutuhkan. Menyisihkan rezeki yang ada pada dirinya, dibelikan hewan kurban dan dibagikan ke sesama. Indah, bukan?

Jauhilah wahai manusia sifat sombong. "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri." (QS. Luqman: 18)

Apa yang sebenarnya ingin kau sombongkan? Bahkan dalam setiap tarikan napasmu, kau tidak punya andil di dalamnya. Ingat bukan, Qarun, manusia yang dititipkan banyak harta. Namun, tak menjadikannya bersyukur. Akhir yang ia rasakan seperti apa. Titipan harta, ada pula yang diberikan ilmu. Jangan kira setan akan diam saja terhadap ia yang terwarisi ilmu. Tak jarang pula yang tergelincir, ilmu tadi menjadikan ia angkuh dan congkak di hadapan manusia lainnya. Seharusnya, makin berilmu ia makin rendah hati. Ibarat padi, makin berisi makin merunduk. la tebarkan ilmu yang dimilikinya kepada sesama. Bermanfaatlah ilmu tadi. Ilmu sesungguhnya ada pada pewaris Nabi, yakni ulama. "Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi." (HR. Tirmidzi). Pelajari ilmu agama karena ia penerang arah, pemandu yang tersesat, dan penenang hati. "Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Belajar dan ambil hikmah dari hidup para anbiya menjadikan iman dan ketakwaan meningkat. Baca Al-Qur'an dan terjemahannya, Allah sampaikan kepada kita, tentang hamba-hamba-Nya serta kisah para Nabi. Luangkan waktu untuk membaca buku-buku Sirah.

Sumber: Herawati. (2022). Menjadi Hamba yang Dicintai Allah. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Posting Komentar untuk "Belajar dari Nabi Ismail"